Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah
dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI
membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui
perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata bahwa
pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata
telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya
juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan
nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah
dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab
tantangan-tantangan tersebut.
Berkembangnya
usulan 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendesak MPR
segera melakukan inisiatif amandemen UUD 1945 hasil amandemen ke empat,
khususnya menyangkut pasal 22 C dan 22 D mengenai eksistensi DPD menarik
untuk dikaji lebih mendalam. Beberapa anggota DPR mereaksi usulan
amandemen UUD yang digagas DPD akan menciptakan gelombang tuntutan
perubahan pada pasal-pasal lain. Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita bertemu
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicara -kan gagasan
amandemen UUD terkait status konstitusional DPD yang dinilai lemah.
Substansi amandemen tersebut terkait dengan realitas politik
pasca-amandemen UUD 1945 yang menempatkan DPD pada posisi yang dianggap
lemah dibandingkan dengan posisi politik DPR. Oleh anggota DPD, pasal
tentang DPD kurang memberi kewenangan politik DPD untuk terlibat dalam
proses legislasi dengan DPR dalam konteks pembahasan dan pengesahan RUU.
Anggota DPD merasa termarginali -sasi politik dalam berhadapan dengan
DPR, karena kewenangan politik DPD terbatas pada persoalanan otonomi
daerah, pemekaran daerah, SDA daerah dan hubungan anara pusat dengan
daerah.
Begitu
pula dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD dan DPRD, khususnya pasal 42, 43, dan 44, kewenangan DPD dinilai
para anggotanya cenderung terbatas sebagai lembaga konsultatif yang
hanya memberikan masukan serta pertimbangan kepada DPR dalam pengusulan
RUU. Dengan kata lain, eksistensi politik DPD secara konstitusional
setara dengan DPR sebagai lembaga perwakilan politik yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam proses pemilu, namun secara politik riil,
proses -proses legislasi lebih didominasi DPR. Keadaan demikian
memunculkan wacana dari kalangan anggota DPD untuk mengajukan usulan
kepada MPR agar melakukan amandemen pasal 22 UUD 1945, guna memperkuat
peran politik DPD sebagai perwakilan politik yang memperjuangkan permasa
lahan daerah.
Permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah bagaimana fungsi dan wewenang DPD di tinjau dari politik hukum ?
A. Pengertian Politik Hukum
Banyak definisi-definisi politk hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli yang selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, salah satunya adalah Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional
mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa
negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah
perkembangan hukum yang di bangun.
Pernyataan”mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya” mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan “mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun” mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).
Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik hukum yang dikemukakan
Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang bersifat ius constituendum, definis politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius constituendum dan ius constitutum.
Dalam
buku Politik Hukum tulisan Moh. Mahfud MD disebutkan bahwa definisi
atau pengertian politik hukum juga bervariasi. Namun dengan menyakini
adanya persamaan substansi antar berbagai pengertian yang ada, studi ini
mngemabil pengertian bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan permbuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua,
pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebut
terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum
yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan
ditegakkan.
Lebih
lanjut Bagir Manan, mengemukakan bahwa politik hukum terdiri dari
politik hukum yang bersifat tetap (permanen) dan politik hukum yang
bersifat temporer. Yang tetap berkaitan denga sikap hukum yang akan
selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Bagi
Indonesia, politik hukum yang tetap antara lain: (1) Ada satu sistem
hukum Indonesia;(2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan dan
untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;(3) Tidak ada hukum
yang memberikan hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan
suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada
kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa;(4)
Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat;(5) Hukum adat
dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum
nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan
masyarakat;(6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi
masyarakat;(7) umum(keadilan sosial bagi seluruh rakyat) terwujudnya
masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya
negara berdasarkan hukum dan berkonstitusi.
Politik
Hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu
sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori ini hal-hal seperti
penentuan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan kolonial,
pembaharuan peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan
nasional dan sebagainya.
B. Dewan Perwakilan Daerah
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128
anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil
sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang
dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang
dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam
sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang
juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama
karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru
ini.
Bila
dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda
dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad).
Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya, keberadaan lembaga
seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya
sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan.
Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD,
bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31
Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15).
Pada
masa pemerintahan Soeharto, utusan daerah sebagai anggota MPR hanya
bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat
dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya.
Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan
keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan
konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan
daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan
pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD
1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang
Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan
perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada
tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih
memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam
perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang
menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal
DPD yang ada sekarang.
Fungsi
dan struktur organisasi parlemen dalam negara hukum yang menganut
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau negara hukum demokratis kehadiran
lembaga perwakilan (parlemen) merupakan sebuah keniscayaan. Adapun
fungsi pokok dari lembaga perwakilan(parlemen) itu pertama-tama adalah
pengawasan terhadap eksekutif, baru setelah itu fungsi-fungsi
legeslatif(fungsi pembuatan undang-undang). Bentuk-bentuk pengawasan
oleh parlemen itu macam-macam. Apabila kita meneliti konstitusi berbagai
negara di dunia kita dapat menemukan beberapa bentuk pengawasan yang
dapat dilakukan oleh lembaga parlemen terhadapa kinerja pemerintah.
Diantara bentuk-bentuk yang penting dalam rangka pengawasan adalah (1)
Mengangkat dan memberhentikan kabinet;(2) hak menentukan dan mengawasi
anggaran dan keuangan;(3) melindungi hak milik dan kekayaan warga
masyarakat;(4) menyelenggarakan forum perdebatan parlemen;(5) melakukan
dengar pendapat;(6) hak interpelasi dan pertanyaan;(7) melaksanakan
fungsi pemerintah secara bersamaan; dan (8) melaksanakan fungsi
semi-legislatif dan semi-judisial.
Sementara
itu dalam perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen
biasanya dikenal tiga macam sistem, yaitu sistem unikaremal, sistem
bikameral dan trikameral.
1. Parlemen Unikameral (satu kamar)
Penjelasan
sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya
ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh.
Sementara dalam sistem bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang
bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah
penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua
merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster
(Inggris), yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau
golongan tertentu) dan pada model Amerika Serikat, yang diwakilkan
adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang dikenal luas,
tentu dengan berbagai variannya.
2. Parlemen Bikameral(dua kamar)
Sistem dua kamar
adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau
parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau
lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih
terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.
3. Parlemen Trikameral (tiga kamar)
Meskipun
tidak banyak dikenal, selain kedua sistem yang lazim dikenal di atas
sesungguhnya ada pula sistem ketiga yang terdiri atas tiga kamar. Dalam
sistem terakhir ini, struktur organisasi parlemen nasional terdiri atau
tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Misalnya
dalam Konstitusi Republik Cina Taiwan tahun 1946 dikenal ada 3(tiga) badan palemen, yaitu majeis rakyat (National Assembly),
Dewan Perwakilan dan Majelis Pengawasan, Sifat trikameral dari lembaga
perwakilan di Cina,Taiwan saat ini telah mengalami perubahan dengan
diperkenalkannya Konstitusi 1994 sehingga menjadi parlemen bikameral.
C. Analisa
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) adalah lebaga legislatif baru yang dibentuk
setelah amandeman UUD 194. Dasar pembentukannya adalah perubahan Ketiga
UUD 1945, yaitu dalam Pasal 22C, 22D dan 22E UUD 1945. Dalam perubahan
keempat UUD 1945, posisi DPD diatur lebih lanjut dalam konteksnya
sebagai bagian dari MPR. Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Majelis
Permusyawarahan Rakyta terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang
dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Berkaitan dengan keanggotaan DPD,UUD 1945 menyatakan
sebagai berikut (1) DPD dipilh melalui Pemilihan Umum; (2) Mewakili setipa propinsi untuk jumlah yang sama unutk setiap propinsi;(3) Merupakan Calon Perseorangan;(4) Jumlah Anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Sementara
Kewenangan DPD, UUD 1945 Menyebutkan antara lain : (1) Dapat mengajukan
ke DPR RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemerkaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan
pertimbangan keuangan pusat dan daerah;(2) Ikut
membahas RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan
keuangan pusat dan daerah;(3) Memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU PABN dan RUU yang terkait dengan pajak, pendidikan dan agama;(4)
Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan
pertimbangan keuangan pusat dan daerah serta menyampaikan hasil
pengawasan kepada DPR;(5) Menerima hasil pemeriksaan keuangan dari BPK;(6) Memberikan pertimbangan kepada DRP mengenai pemilihan anggota BPK.
Komposisi
dan kewenangan DPD yang diatur dalam UUD 1945 tersebut menimbulkan
kritik. Kritik berkaitan dengan jumlah anggota DPD yang tidak boleh
lebih dari sepertiga anggota DPR, sementara ptutusan MPR diambil dengan
suara terbanyak, sehingga DPD tidak bisa menjadi penyeimbang dari
peran-peran DPR. Selain itu terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh
DPD. Kewenangan DPD tidak cukup signifikan dilihat dari gagasan
pembentukannya dan DPD memamg didesain lebih rendah dari DPR bahkan
diketahui sebagai embel-embel DPR.
Kritik
berikutnya yang bisa dikemukakan adalah terkait dengan rumusan dalam
Pasal 7C UUD 1945 hanya memberi jaminan bahwa hanya DPR yang tidak bisa
dibubarkan oleh Presiden sehingga DPD bisa dikatakan Presiden berhak
membubarkannya, karena tidak ada jaminan yang tegas dan eksplisit dalam
UUD dan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
menyebutkan bahwa hany pertimbangan DPR yang diperlukan oleh presiden
ketika menyatakan perang, damai dan dalam membuat perjanjian
internasional. Dan ada kiranya pasal-pasal lain dalam UUD 1945 dan
perubahannya bersifat diskriminatif terhadap keberadaan DPD.
Untuk
mengatasi timpangnya fungsi dan wewenang DPD terhadap DPR, maka
kedepannya perlu dibangun kedudukan yang setara antara DPR dan DPD
sehingga MPR benar-benar menjadi lembaga perwakilan dengan sistem dua
kamar murni/bikameral simetris (strong bicaeralism). Salah satu
keuntungan dalam sistem bikameral dalah kemampuan anggota untuk: (1)
secara resmi mewakili beragam pemilih(misalnya negara bagian, wilayah,
etnik, atau golongan); (2) memfasilitasi penyusunan perundang-undangan;
(3) mencegah disahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan
(4) melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga
eksekutif.
Dalam
pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara
dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan
tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini
semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu
rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari
Majelis Rendah. Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral
bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat
pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau
kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Bahkan, dari
segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan
lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh
kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.
Melihat
pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak
memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan
Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk
memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan
Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitu juga
ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang
turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Karenanya harus diakui
perubahan UUD 1945 amat membatasi kewenangan DPD, begitu juga dalam UU
No 22/2003. Baik dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 maupun
Pasal 42 dan 43 UU No 22/2003 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang
DPD. DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi
daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan
kewenangannya.
Dari
ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang
dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip
bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi
parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance)
dalam proses legislasi maupun pengawasan. Salah satu cara yang bisa
ditempuh untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR dalam bingkai bikameral
simetris adalah dengan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 pasca
amandemen terhadap sisi kelemahan yang cukup mendasar. Komisi Konstitusi
(KK) telah melakukan kajian sekaligus usulan laternatif terhadap
berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dalam UUD 1945 hasil
perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Terkait dengan fungsi dan
wewenang DPD, KK mengusulkan perubahan terhadap Pasal 22D ayat (2)
menjadi bunyi “Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak
rancangan undang-undang berkaitan dengan; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat
dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Berbagai
hasil kajian dan usulan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945
pasca peubahan yang dilakukan KK tidak pernah disentuh apalagi dibahas
secara mendalam oleh MPR, karena MPR berpendapat KK telah melaksanakan
tugas dengan melapaui tugas yang diberikan sebagaimana tercantum dalam
keputusan MPR Nomor 4/MPR/2003. Hasil kerja KK tersebut oleh BP MPR
disebut kurang mencerminkan prinsip-prinsip sebuah kajian
ilmiah akademis. Penolakan hasil kerja KK oleh MPR merupakan bukti bahwa
didalam tubuh MPR masih bercokolnya kepentingan kelompok-kelompok
domain yang lebih mementingkan kepentingan-kepentingan jangka pendek dan
membenarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Koalisi untuk konstitusi
baru bahwa MPR merupakan bagian harus diselesaikan dalam proses
amandeman UUD 1945.
Kesimpulan
1. Terdapat ketimpang fungsi dan wewenang DPD terhadap DPR.
2. Guna membangun prinsip checks and balances dalam
lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal
terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti
saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di
lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam
menciptakan keadilan distribusi kekuasaan dapat diwujudkan sehingga
mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses
pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat
undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
3. Sistem
bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai
dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan.
4. Secara konstitusional, untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR serta memperkuat fungsi legislasi DPD dalam bingkai bikameral simetris hanya dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945 terhadap sisi kelemahan yang cukup mendasar.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Imam Syakuni dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Cetakan Ketujuh .Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Ketiga.Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,2006.
Winardi, Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah,Cetakan Pertama.Malang:Setara Press,2008.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
C. Data Elektronik
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Problematika%20Dewan%20Perwakilan%20Daerah.pdf
http://parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpd
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=99:menuju-bikameral-efektif-dalam-rangka-memperkuat-fungsi-legislasi
dpd&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar