Sabtu, 20 September 2014

Lambang Lembaga Negara



Lambang Lembaga Negara
1. MPR                      2. Presiden                 3. DPR
                                               
4. DPD                       5. MA                 6. BPK
               




7. KY                                      8. MK

DPD (Dewan Perwakilan Daerah)

Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional; serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah,  secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk  hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata  bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Berkembangnya usulan 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk mendesak MPR segera melakukan inisiatif amandemen UUD 1945 hasil amandemen ke empat, khususnya menyangkut pasal 22 C dan 22 D mengenai eksistensi DPD menarik untuk dikaji lebih mendalam. Beberapa anggota DPR mereaksi usulan amandemen UUD yang digagas DPD akan menciptakan gelombang tuntutan perubahan pada pasal-pasal lain. Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicara -kan gagasan amandemen UUD terkait status konstitusional DPD yang dinilai lemah. Substansi amandemen tersebut terkait dengan realitas politik pasca-amandemen UUD 1945 yang menempatkan DPD pada posisi yang dianggap lemah dibandingkan dengan posisi politik DPR. Oleh anggota DPD, pasal tentang DPD kurang memberi kewenangan politik DPD untuk terlibat dalam proses legislasi dengan DPR dalam konteks pembahasan dan pengesahan RUU. Anggota DPD merasa termarginali -sasi politik dalam berhadapan dengan DPR, karena kewenangan politik DPD terbatas pada persoalanan otonomi daerah, pemekaran daerah, SDA daerah dan hubungan anara pusat dengan daerah.
Begitu pula dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, khususnya pasal 42, 43, dan 44, kewenangan DPD dinilai para anggotanya cenderung terbatas sebagai lembaga konsultatif yang hanya memberikan masukan serta pertimbangan kepada DPR dalam pengusulan RUU. Dengan kata lain, eksistensi politik DPD secara konstitusional setara dengan DPR sebagai lembaga perwakilan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam proses pemilu, namun secara politik riil, proses -proses legislasi lebih didominasi DPR. Keadaan demikian memunculkan wacana dari kalangan anggota DPD untuk mengajukan usulan kepada MPR agar melakukan amandemen pasal 22 UUD 1945, guna memperkuat peran politik DPD sebagai perwakilan politik yang memperjuangkan permasa lahan daerah.
Permasalahan yang akan dibahas dalam paper ini adalah bagaimana fungsi dan wewenang DPD di tinjau dari politik hukum ?
A. Pengertian Politik Hukum
Banyak definisi-definisi politk hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli yang selama ini cukup concern mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, salah satunya adalah Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang di bangun.
Pernyataan”mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya” mengandung pengertian hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan “mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun” mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang bersifat ius constituendum, definis politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius constituendum dan ius constitutum.
Dalam buku Politik Hukum tulisan Moh. Mahfud MD disebutkan bahwa definisi atau pengertian politik hukum juga bervariasi. Namun dengan menyakini adanya persamaan substansi antar berbagai pengertian yang ada, studi ini mngemabil pengertian bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan permbuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Lebih lanjut Bagir Manan, mengemukakan bahwa politik hukum terdiri dari politik hukum yang bersifat tetap (permanen) dan politik hukum yang bersifat temporer. Yang tetap berkaitan denga sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum. Bagi Indonesia, politik hukum yang tetap antara lain: (1) Ada satu sistem hukum Indonesia;(2) Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila dan UUD 1945;(3) Tidak ada hukum yang memberikan hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan suku, ras atau agama. Kalaupun ada perbedaan semata-mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa;(4) Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat;(5) Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat;(6) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat;(7) umum(keadilan sosial bagi seluruh rakyat) terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan berkonstitusi.
Politik Hukum temporer adalah kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Termasuk dalam kategori ini hal-hal seperti penentuan prioritas pembentukan peraturan perundang-undangan kolonial, pembaharuan peraturan perundang-undangan yang menunjang pembangunan nasional dan sebagainya.
B. Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini.
Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya,  keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15).
Pada masa pemerintahan Soeharto, utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.
Fungsi dan struktur organisasi parlemen dalam negara hukum yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau negara hukum demokratis kehadiran lembaga perwakilan (parlemen) merupakan sebuah keniscayaan. Adapun fungsi pokok dari lembaga perwakilan(parlemen) itu pertama-tama adalah pengawasan terhadap eksekutif, baru setelah itu fungsi-fungsi legeslatif(fungsi pembuatan undang-undang). Bentuk-bentuk pengawasan oleh parlemen itu macam-macam. Apabila kita meneliti konstitusi berbagai negara di dunia kita dapat menemukan beberapa bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh lembaga parlemen terhadapa kinerja pemerintah. Diantara bentuk-bentuk yang penting dalam rangka pengawasan adalah (1) Mengangkat dan memberhentikan kabinet;(2) hak menentukan dan mengawasi anggaran dan keuangan;(3) melindungi hak milik dan kekayaan warga masyarakat;(4) menyelenggarakan forum perdebatan parlemen;(5) melakukan dengar pendapat;(6) hak interpelasi dan pertanyaan;(7) melaksanakan fungsi pemerintah secara bersamaan; dan (8) melaksanakan fungsi semi-legislatif dan semi-judisial.
Sementara itu dalam perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen biasanya dikenal tiga macam sistem, yaitu sistem unikaremal, sistem bikameral dan trikameral.
1. Parlemen Unikameral (satu kamar)
Penjelasan sederhananya, dalam sistem perwakilan satu kamar (unikameral), hanya ada satu dewan yang menjalankan kekuasaan legislatif secara penuh. Sementara dalam sistem bikameral, ada dua “kamar” dalam parlemen yang bekerja berdampingan. Biasanya, kamar pertama merepresentasikan jumlah penduduk, seperti yang dapat dilihat pada DPR. Sedangkan kamar kedua merepresentasikan konstituensi yang berbeda. Pada model Westminster (Inggris), yang diwakilkan adalah orang-orang terpilih (bangsawan atau golongan tertentu) dan pada model Amerika Serikat, yang diwakilkan adalah wilayah di dalam negara itu. Dua model inilah yang dikenal luas, tentu dengan berbagai variannya.
2. Parlemen Bikameral(dua kamar)
Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.
3. Parlemen Trikameral (tiga kamar)
Meskipun tidak banyak dikenal, selain kedua sistem yang lazim dikenal di atas sesungguhnya ada pula sistem ketiga yang terdiri atas tiga kamar. Dalam sistem terakhir ini, struktur organisasi parlemen nasional terdiri atau tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Misalnya dalam Konstitusi Republik Cina Taiwan tahun 1946 dikenal ada 3(tiga) badan palemen, yaitu majeis rakyat (National Assembly), Dewan Perwakilan dan Majelis Pengawasan, Sifat trikameral dari lembaga perwakilan di Cina,Taiwan saat ini telah mengalami perubahan dengan diperkenalkannya Konstitusi 1994 sehingga menjadi parlemen bikameral.
C. Analisa
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lebaga legislatif baru yang dibentuk setelah amandeman UUD 194. Dasar pembentukannya adalah perubahan Ketiga UUD 1945, yaitu dalam Pasal 22C, 22D dan 22E UUD 1945. Dalam perubahan keempat UUD 1945, posisi DPD diatur lebih lanjut dalam konteksnya sebagai bagian dari MPR. Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa Majelis Permusyawarahan Rakyta terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Berkaitan dengan keanggotaan DPD,UUD 1945 menyatakan sebagai berikut (1) DPD dipilh melalui Pemilihan Umum; (2) Mewakili setipa propinsi untuk jumlah yang sama unutk setiap propinsi;(3) Merupakan Calon Perseorangan;(4) Jumlah Anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Sementara Kewenangan DPD, UUD 1945 Menyebutkan antara lain : (1) Dapat mengajukan ke DPR RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemerkaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah;(2) Ikut membahas RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah;(3) Memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU PABN dan RUU yang terkait dengan pajak, pendidikan dan agama;(4) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan pertimbangan keuangan pusat dan daerah serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR;(5) Menerima hasil pemeriksaan keuangan dari BPK;(6) Memberikan pertimbangan kepada DRP mengenai pemilihan anggota BPK.
Komposisi dan kewenangan DPD yang diatur dalam UUD 1945 tersebut menimbulkan kritik. Kritik berkaitan dengan jumlah anggota DPD yang tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR, sementara ptutusan MPR diambil dengan suara terbanyak, sehingga DPD tidak bisa menjadi penyeimbang dari peran-peran DPR. Selain itu terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Kewenangan DPD tidak cukup signifikan dilihat dari gagasan pembentukannya dan DPD memamg didesain lebih rendah dari DPR bahkan diketahui sebagai embel-embel DPR.
Kritik berikutnya yang bisa dikemukakan adalah terkait dengan rumusan dalam Pasal 7C UUD 1945 hanya memberi jaminan bahwa hanya DPR yang tidak bisa dibubarkan oleh Presiden sehingga DPD bisa dikatakan Presiden berhak membubarkannya, karena tidak ada jaminan yang tegas dan eksplisit dalam UUD dan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hany pertimbangan DPR yang diperlukan oleh presiden ketika menyatakan perang, damai dan dalam membuat perjanjian internasional. Dan ada kiranya pasal-pasal lain dalam UUD 1945 dan perubahannya bersifat diskriminatif terhadap keberadaan DPD.
Untuk mengatasi timpangnya fungsi dan wewenang DPD terhadap DPR, maka kedepannya perlu dibangun kedudukan yang setara antara DPR dan DPD sehingga MPR benar-benar menjadi lembaga perwakilan dengan sistem dua kamar murni/bikameral simetris (strong bicaeralism). Salah satu keuntungan dalam sistem bikameral dalah kemampuan anggota untuk: (1) secara resmi mewakili beragam pemilih(misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan); (2) memfasilitasi penyusunan perundang-undangan; (3) mencegah disahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan (4) melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.
Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah. Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Bahkan, dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.
Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Begitu juga ketentuan yang sama dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang turunannya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU No 22/2003). Karenanya harus diakui perubahan UUD 1945 amat membatasi kewenangan DPD, begitu juga dalam UU No 22/2003. Baik dalam Pasal 22D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 42 dan 43 UU No 22/2003 menunjukkan betapa terbatasnya wewenang DPD. DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya.
Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR dalam bingkai bikameral simetris adalah dengan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 pasca amandemen terhadap sisi kelemahan yang cukup mendasar. Komisi Konstitusi (KK) telah melakukan kajian sekaligus usulan laternatif terhadap berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dalam UUD 1945 hasil perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Terkait dengan fungsi dan wewenang DPD, KK mengusulkan perubahan terhadap Pasal 22D ayat (2) menjadi bunyi “Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak rancangan undang-undang berkaitan dengan; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Berbagai hasil kajian dan usulan perubahan terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 pasca peubahan yang dilakukan KK tidak pernah disentuh apalagi dibahas secara mendalam oleh MPR, karena MPR berpendapat KK telah melaksanakan tugas dengan melapaui tugas yang diberikan sebagaimana tercantum dalam keputusan MPR Nomor 4/MPR/2003. Hasil kerja KK tersebut oleh BP MPR disebut kurang mencerminkan prinsip-prinsip sebuah kajian ilmiah akademis. Penolakan hasil kerja KK oleh MPR merupakan bukti bahwa didalam tubuh MPR masih bercokolnya kepentingan kelompok-kelompok domain yang lebih mementingkan kepentingan-kepentingan jangka pendek dan membenarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Koalisi untuk konstitusi baru bahwa MPR merupakan bagian harus diselesaikan dalam proses amandeman UUD 1945.
Kesimpulan
1. Terdapat ketimpang fungsi dan wewenang DPD terhadap DPR.
2. Guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan dapat diwujudkan sehingga mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah.
3. Sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan.
4. Secara konstitusional, untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR serta memperkuat fungsi legislasi DPD dalam bingkai bikameral simetris hanya dapat dilakukan dengan melanjutkan perubahan terhadap UUD 1945 terhadap sisi kelemahan yang cukup mendasar.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Imam Syakuni dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Cetakan Ketujuh .Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2011.
Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Ketiga.Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,2006.
Winardi, Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah,Cetakan Pertama.Malang:Setara Press,2008.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945.
C. Data Elektronik
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Problematika%20Dewan%20Perwakilan%20Daerah.pdf
http://parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpd
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=99:menuju-bikameral-efektif-dalam-rangka-memperkuat-fungsi-legislasi dpd&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5

Ibid.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Problematika%20Dewan%20Perwakilan%20Daerah.pdf
Ibid.
Imam Syakuni dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Ceatakan Ketujuh (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 27.
Ibid.
Moh. Mahfud. MD, Politik Hukum Di Indonesia, Cetakan Ketiga(Jakarta:PT.Pustaka LP3ES Indonesia,2006), hlm. 9.
Winardi, Dinamika Politik Hukum Pasca Perubahan Konstitusi dan Implementasi Otonomi Daerah,Cetakan Pertama(Malang:Setara Press,2008), hlm. 7-8.
Ibid.
http://parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpd
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Winardi, Dinamikaop.cit., hlm. 48-49.
http://parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpd
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_dua_kamar
Winardi, Dinamikaop.cit., hlm. 52.
UUD 1945 Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 22C ayat (1) jo. Pasal 22E ayat (2).
UUD 1945 Pasal 22C ayat(1) dan ayat (2).
UUD 1945 Pasal 22C ayat (4).
UUD 1945 Pasal 22C ayat (3).
UUD 1945 Pasa 22D ayat (1).
UUD 1945 Pasal 22D ayat (2)
UUD 1945 Pasal 22 ayat (2)
Winardi, Dinamikaop.cit., hlm. 53-54.
UUD 1945 Pasal 23E ayat (2)
UUD 1945 Pasal 23F ayat (1)
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=99:menuju-bikameral-efektif-dalam-rangka-memperkuat-fungsi-legislasi-dpd&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5
Ibid.
Winardi, Dinamikaop.cit., hlm. 56-57.
Ibid., hlm. 57-58.

DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)

Fungsi 

DPR mempunyai fungsi ; legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.

Legislasi

Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Anggaran

Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.

Pengawasan

Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.

Tugas dan wewenang

Tugas dan wewenang DPR antara lain:
  • Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
  • Membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang
  • Menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta membahas membahas rancangan undang-undang tersebut bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
  • Membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden
  • Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama
  • Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden
  • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN
  • Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama
  • Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
  • Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi
  • Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain
  • Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
  • Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
  • Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota KY
  • Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden
  • Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden
  • Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
  • Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain
  • Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
  • Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undang-undang
DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR tersebut. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan panggilan paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal panggilan paksa tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pejabat yang disandera habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya, yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum.

Hak

DPR mempunyai bebrapa hak, yaitu; hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Hak interplasi

Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hak angket

Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Hak menyatakan pendapat

Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
  • Kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional
  • Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket
  • Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

KY (Komisi Yudisial

Artikel Pertama

Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial (KY) dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2004, yang bertujuan untuk memenuhi harapan masyarakat tentang kekuasaan kehakiman yang transparan, merdeka, dan partisipatif. Pembentukan Komsi Yudisial diawali oleh adanya kesepakatan untuk memberlakukan pemidahan kewenangan (organisasi, personel, administrasi, dan keuangan) pengadilan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung. 
Pengertian, Tugas, Wewenang Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial Republik Indonesia
Susunan keanggotaan Komisi Yudisial (KY) terdiri atas pimpinan dan anggota. Pimpinan komisi terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang merangkap anggota. Sedangkan anggotanya terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari pejabat Negara, yaitu hakim, akademisi hukum, praktisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial (KY) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Komisi Yudisial (KY) mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Tugas Komisi Yudisial (KY) adalah sebagai berikut:
  • Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung.
  • Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung.
  • Menetapkan calon hakim.
  • Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Sedangkan, wewenang Komisi Yudisial (KY) adalah sebagai berikut:
  • Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR.
  • Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
  • Menjaga perilaku Hakim.
 
Artikel Kedua
 
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hakim sangat erat kaitannya dengan hukum atau negara hukum. Karena hukum akan ditegakkan dimana ada pengadilan yang merupakan tempat untuk mengadili dan tentunya dalam pengadilan ada hakim yang berperan sebagai pemutus sebuah keputusan yang adil. Untuk itu, perlu adanya kode etik profesi hakim yaitu aturan tertulis yang harus dipedomani oleh setiap Hakim Indonesia dalam melaksanakan tugas profesi sebagai Hakim. Adapum maksud dan tujuan adanya kode etik profesi hakim ini adalah Sebagai alat pembinaan dan pembentukan karakter Hakim dan pengawasan tingkah laku Hakim. Selain itu juga sebagai sarana kontrol sosial, pencegah campur tangan ekstra judicial, dan pencegah timbulnya kesalah pahaman dan konflik antar sesama anggota dan antara anggota dengan masyarakat. Tujuan dari kode etik ini adalah memberikan jaminan peningkatan moralitas Hakim dan kemandirian fungsional bagi Hakim dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Dengan adanya kode etik profesi hakim yang menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia, baik dalam menjalankan tugas profesinya harapannya adalah untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada hukum.
Tetapi kenyataannya sekarang hakim banyak menyimpang dari kode etik tersebut. Faktanya bisa dilihat dari media massa ataupun cerita pribadi yang berupa pengalaman dengan melihat secara langsung. Tetapi, media massa kurang begitu mengekspose karena biasanya kasus pelanggaran kode etik ini tidak sampai ke publik. Komisi Yudisial (KY) menemukan banyak laporan yang menyatakan hakim melakukan praktik yang dilarang dalam menangani perkara. Itu menunjukkan kemerosotan penegakan hukum akibat penegak hukum yang tak profesional.
BAB 2
PEMBAHASAN
Kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia.
Dasar hukum dibentuknya komisi yudisial adalah pasal 24 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan rumusan sebagai berikut :
(1) Komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung  dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan   kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota komisi yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
(4) Susunan,kedudukan,dan keanggotaan komisi yudisial diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 24B ayat (4) UUD 1945, maka dikeluarkanlah UU NO.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan pasal 1 ditegaskan bahwa komisi yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
             Lebih lanjut,dalam pasal 2 ditegaskan, bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Dari penegasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan komisi yudisial dalam struktur ketatanegaraan indonesia adalah termasuk ke dalam lembaga negara setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain disebut lembaga negara mandiri(state auxiliary institution) . Sebenarnya ide perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tetrtentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968, setempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitiaan Hakim. Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkenaan dengan perangkat, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukumanjabatan para hakim, yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun Mentri Kehakiman.
Kedudukan Komisi Yudisial sebagai Lembaga Yudikatif.
            Sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuasaan,lembaga yudikatif dimungkinkan untuk melaksanakan proses pengadilan yang jujur, objektif, tidak memihak, dan adil. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lembaga yudikatif merupakan sandaran harapan dan kepercayaan terakhir bagi warga negara untuk memperoleh keadilan. Keistimewaan yudikatif dibanding dengan legislatif dan eksekutif adalah pada substansi sifat produk lembaga. Produk legislatif, yang berupa Undang-Undang,dan produk eksekutif,yang berupa kebijakan atau aturan pemerintah, didasarkan pada “demi kepentingan rakyat” atau “demi kepentingan umum”. Sementara yudikatif mendasarkan putusannya(putusan hukum) pada “demi keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.Karena sifatnya yang demikian hakim acapkali diidentikan sebagai “kepanjangan tangan Tuhan di dunia”. Dengan predikat itu mengandung makna bahwa, penyalahgunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan hakim adalah pengingkaran atas fungsi dan misi sucinya “perpanjangan Tuhan”. Beranjak dari kenyataan yang ada bahwa masih banyak hakim yang salah dalam mengambil keputusan,Maka dari itu diperlukan suatu lembaga negara yang dapat mengawasi kinerja hakim, yaitu Komisi Yudisial yang bertujuan Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim dan Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Dengan adanya lembaga seperti Komisi Yudisial mewujudkan harapan warga negara serta kepercayaan terakhir untuk memperoleh keadilan (landing of the last resort). Menurut Jimly asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan Kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya Komisi Yudisial sebagai badan LANDING OF THE LAST RESORT untuk menjadi kepercayaan terakhir serta mewujudkan harapan warga negaranya dalam mencapai suatu keadilan sangat terbatas,hal ini didasarkan oleh UU no 22 tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dalam pasal 13 dan pasal 21 bunyinya sebagai berikut: PASAL 13 Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. PASAL 21 Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian karena adanya amanat dari UU 22 tahun 2004 inilah Komisi Yudisial sebagai LANDING OF THE LAST RESORT dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sangat terbatas, menurut penulis sendiri seharusnya Komisi Yudisial diberikan suatu kewenangan yang lebih luas dalam hal memantau kinerja Hakim agar hakim sebagai badan indepent dan impartial judiciary benar-benar terjaga kualitasnya, dan dapat mendorong adanya suatu pembangunan dalam sistem peradilan yang bebas dan bersih dari mafia hukum.

Peranan Komisi Yudisial Dalam Membangun Peradilan Yang Bersih.
Salah satu wujud terbentuknya Komisi Yudisial adalah untuk membangun suatu sistem peradilan yang bersih, tentu hal ini ada kaitannya dengan kode etik dan kode etik profesi hakim dimana kode etik dan kode etik profesi hakim merupakan suatu acuan hakim dalam setiap kali menjalankan tugas dalam mengambil putusan.Komisi Yudisial dalam hal menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan laporan dan temuan dari masyarakat indonesia.Hal ini diatur dalam UU 2 tahun 2005 tentang tata cara pengawasan hakim. Adapun Komisi Yudisial dalam menerapkan sanksi diatur dalam pasal 14 yang bebrbunyi sebagai berikut:
(1) Komisi Yudisial dalam rapat pleno berwenang menilai jenis dan kualitas pelanggaran terhadap kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, dengan memperhatikan Kode Etik Hakim, dan menentukan jenis sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan;
(2) Jenis sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa : a. teguran tertulis; b. pemberhentian sementara; c. pemberhentian. Dengan adanya sanksi seperti ini maka akan terlihat sangat jelas bahwa Komisi Yudisial sangat berpengaruh dalam membangun suatu sistem peradilan yang bersih.Agar nantinya hakim dalam mengambil putusan sesuai dengan apa yang ada dalam irah-irah atau kepala putusan yaitu “Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”.  
Tugas, Wewenang Dan Tujuan Komisi Yudisial
Komisi Yudisial memiliki wewenang yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 13  UU Nomor 22 2004 yaitu: Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tugas Komisi Yudisial
  1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
  1. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim 
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a.       Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,
b.      Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan
c.       Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Tujuan Komisi Yudisial:
  1. Agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat.
  2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kekuasaan kehakiman baik yang menyangkut rekruitmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
  3. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen.
  4. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman.
Kode Etik Komisi Yudisial
Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Anggota Komisi Yudisial adalah norma-norma yang bersumber dari nilai-nilai agama, moral dan nilai yang terkandung dalam sumpah jabatan Anggota Komisi Yudisial yang harus dilaksanakan oleh Anggota Komisi Yudisial dalam menjalani kehidupan pribadinya serta dalam menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Kode Etik KY terdapat pada Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 tentang kode etik dan pedoman tingkah laku anggota komisi yudisial yaitu:
a.      Kepribadian
Bahwa setiap anggota Komisi Yudisial harus memiliki sifat arif dan bijaksana serta selalu mempertahankan sikap mental independen dalam menjalankan tugas sebagaimana diatur dalam undang-undang, Menjadi panutan dan teladan, baik dalam menjalankan tugas Komisi Yudisial maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Menjaga suasana yang harmonis, bersikap dinamis dan objektif, saling menghargai, semangat kebersamaan, serta saling menghormati dalam menjalankan tugas Anggota
Komisi Yudisial serta Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Ketentuan tersebut terdapat pada pasal 4 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 5 Tahun 2005
b.      Tanggung jawab
Dalam menjalankan tugasnya Anggota Komisi Yudisial bertanggung jawab atas hasil pelaksanaan tugasnya baik secara pribadi maupun lembaga.Selalu mempertahankan integritas, obyektifitas, profesionalitas dan harus bebas dari benturan kepentingan baik pribadi atau kelompok.Wajib menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.       Konflik kepentingan
Apabila ada kepentingan pribadi yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam suatu rapat, maka sebelum mengemukakan pendapatnya, Anggota Komisi Yudisial terkait harus mengatakan hal tersebut di hadapan seluruh peserta rapat. Anggota Komisi Yudisial mempunyai hak suara pada setiap pengambilan keputusan kecuali apabila rapat Komisi Yudisial memutuskan lain, karena yang bersangkutan mempunyai konflik kepentngan dalam permasalahan yang sedang dibahas. Anggota Komisi Yudisial yang sedang terlibat perkara di pengadilan, dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengauhi jalannya peradilan dan  anggota Komisi Yudisial harus mengundurkan diri apabila memeriksa subyek pemeriksaan yang ada hubungan kekerabatan atau hubungan keluarga dengan anggota yang bersangkutan.
Peran KY Dalam Mewujudkan Hakim Yang Berwibawa
Peran Komisi yudisial (KY) dalam mewujudkan hakim yang berwibawa tidak lepas dari tugas dan wewenang KY diantara yaitu: dimulai dari melakukan pendaftaran calon Hakim Agung sampai dengan mengajukan calon Hakim Agung ke DPR
Berdasarkan Pasal 18 UU Nomor 22 2004, Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 hari terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan dan Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan. Dalam jangka waktu paling lambat 15 hari terhitung sejak seleksi berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pasal 22 UU No. 22 2004 Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana maksud diatas, Komisi Yudisial:
menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
a.       meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
b.      melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
c.       memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
d.      membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Alasan Dibentuknya Komisi Yudisial di Republik Indonesia
Alasan utama bagi terwujudnya (raison d’atre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum, adalah:
Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyaraka dalam spectrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal,
Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apapun juga khususnya kekuasaan pemerintah,
Dengan adanya Komisi Yuidisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman,
Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial), dan
Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan politik.
Di Indonesia ini diadopsi dengan membentuk Komisi Yudisial. Hanya saja, selain dua alasan umum bagi negara hukum di atas, juga terdapat alasan-alasan khusus dalam pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia.
Alasan utama yang mendorong timbulnya pemikiran mengenai pentingnya keberadaan KY adalah kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik. Kehadiran KY merupakan ikhtiar dari bangsa ini untuk mengawal proses reformasi peradilan agar berjalan sesuai tuntutan reformasi yaitu bebas dari KKN. Namun, kenyataannya, institusi pengadilan belum tersentuh agenda reformasi. Hal ini terlihat dari hasil survey integritas sektor publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2008 pengadilan merupakan institusi yang paling rawan suap. Praktek suap mengakibatkan institusi penegakkan hukum ini terjerembab dalam kubangan mafia peradilan.
Alasan kedua, pasca penyatuan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah MA, ada kekhawatiran akan melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman. Potensi abuse of power sangat besar apabila tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan terhadap jalannya kekuasaan kehakiman tersebut. Kecenderungan tidak transparannya pengawasan internal sangat kentara, seperti tidak diumumkannya nama-nama hakim yang mendapat sanksi dari MA ke publik. Selain itu, masih kentalnya esprit de corps sesama hakim membuat tidak objektif dan transparan hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh MA.
 BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
Komisi Yudisial merupakan lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 Republik Indonesia yang memiliki Visi dan Misi, seperti: VISI Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Terwujudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan, dan profesional. MiSi Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani dan kompeten. Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan menegakkan hukum dan keadilan. Melaksanakan pengawasan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang efektif, terbuka dan dapat dipercaya. Visi dan misi komisi yudisal jelas merupakan suatu usaha atau upaya dalam membangun sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum. Selain faktor dari Komisi Yudisial sebagai LANDING OF THE LAST RESORT untuk membangun sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum terdapat banyak faktor pendukung lainnya,seperti tidak terlepas dari peran serta para penegak hukum dalam hal ini juga peran serta dari Masyarakat itu sendiri. Faktor inilah yang akan membangun suatu sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum.  
Terdapat dua alasan penting yang mendasari dibentuknya Komisi Yudisial di Indonesia, yaitu:
Kegagalan sistem yang ada saat ini, sehingga dibutuhkan terobosan baru untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik.
Adanya kekhawatiran akan melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman, pasca penyatuan satu atap kekuasaan kehakiman di bawah MA. Potensi abuse of power sangat besar apabila tidak ada lembaga yang melakukan pengawasan terhadap jalannya kekuasaan kehakiman tersebut. Karena alasan-alasan yang terjadi di Indonesia itulah, dan untuk mereformasi peradilan yang ada, maka Komisi Yudisial dibentuk.